Konsep
Pendidikan Moral
Al –Zarnuji
Di susun oleh:
Kelompok 16
NAMA
|
NPM
|
|
|
|
|
Jurusan/semester/kelas
|
|
Dosen
|
|

FAKULTAS
TARBIYAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG 2012
PENDAHULUAN
Syekh Burhanudin al-Zarnuji, dengan nilai
moralitasnya yang dibawa proses pembelajaran, yang tertuang dalam karyanya
Ta’limul Muta’alim Thariqatta’ Alum. Hal ini menjadi penting, apabila dikaitkan
dengan fenomena pendidikan yang sampai saat ini belum cukup mampu untuk
menghasilkan insan yang berkepribadian luhur. Mayoritas pendidikan yang
berkembang sekarang lebih menekankan kepada segi kognitif dan mempelajari
ilmu-ilmu umum, sehingga pelajar mempelajari ilmu yang berserakan dan tidak
sistematis.
Selain
itu masalah etika kurang diperhatikan, baik etika terhadap guru, etika terhadap
sesama murid. Maka jangan heran ketika al-Zarnuji mengatakan banyak dari
sebagian pelajar yang sebenarnya mereka sudah bersungguh-sungguh menuntut ilmu,
namun mereka tidak merasakan nikmatnya ilmu, hal ini disebabkan mereka
meninggalkan atau kurang memperhatikan etika dalam menuntut ilmu.
Al-Zarnuji
tentang etika belajar siswa. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
dan memahami pemikiran al-Zarnuji tentang etika belajar siswa. Manfaat dari
penelitian ini adalah secara teoritis, dapat semakin memperkaya khazanah
pemikiran Islam pada umumnya dan bagi Civitas Akademika Fakultas Agama Islam
pada khususnya.
PEMBAHASAN
A. Konsep Pendidikan
Moral
Kitab Ta‘lim lebih tepatnya merupakan konsep
belajar, sehingga untuk menjelaskan dalam perspektif pembelajaran harus
ditarik dari pemahaman bagaimana proses dan cara yang ditempuh guru
untuk menjadikan seseorang siswa mencapai suatu kondisi mengetahui
dengan jelas, segala sesuatu yang dibutuhkan dalam rangka pembentukan insan
kamil. Setidaknya ada dua metode yang dikemukan oleh al-Zarnuji,
yaitu pertama metode yang bersifat etik, dan kedua metode bersifat
strategi.
Metode
yang sifatnya etik antara lain mencakup niat dalam belajar, sikap batin,
perilaku pelajar, menghormati ilmu, dan menghormati guru. Etika atau
moralitas Ta‘lim berpangkal dari penghargaan terhadap ilmu. Penghargaan
terhadap ilmu memperoleh legitimasinya karena merupakan sarana untuk
mencapai ridla Allah SWT. Dengan dasar pemikiran seperti ini, pada
dasarnya kolaborasi dari berbagai teori pendidikan Barat dengan teori
pendidikan Islam, adalah upaya yang baik selama tidak menyangkal tujuan untuk
mencari ridla Allah SWT.
Sedangkan
metode yang sifatnya strategi mencakup cara memilih pelajaran, memilih guru,
memilih teman, langkah-langkah dalam belajar, dan lain-lain. Terkait dengan
penggunaan istilah pembelajaran, pada dasarnya Ta‘lim mengembangkan
metode yang menggambarkan proses kontruksi siswa terhadap pengetahuannya
sendiri, seperti metode
1. munazarah ( المناظرة ), (debat)
2. mudzakarah (المذاكرة) (menghafal)
3. mushawarah ( المشاورة ),(musyawarah)
Secara umum pandangan guru terhadap Ta‘lim lebih
pada sisi moral belajar anak, sehingga mereka sepakat menjadikan Ta‘lim
sebagai suplemen bagi penguatan moralitas belajar siswa. Selebihnya apresiasi
para pelaku pendidikan, terdaaptasi oleh nilai-nilai moral belajar
yang
hidup dari pengaruh dunia pesantren dan pengaruh guru yang memiliki latar
belakang pendidikan pesantren.
B. Hal-hal yang
dianggap tidak relevan dalam pendidikan moral
Moralitas yang dibangun meskipun bekerja secara
atomik sedikit banyak menjelaskan korelasi antara moralitas dengan keberhasilan
proses pembelajaran. Hal ini bisa dijelaskan dari persepsi guru terhadap
hubungan antara moral siswa dengan prestasi belajar. Siswa yang prestasi
belajarnya baik adalah siswa yang secara moral baik, tetapi tidak sebaliknya,
artinya siswa yang moralnya baik belum tentu prestasi belajarnya baik.
Sedangkan siswa yang secara moral dianggap kurang, senantiasa prestasi
belajarnya tidak baik.
Kesimpulan guru tersebut memiliki kekurangan dari
segi bahwa yang menjadi tolak ukur prestasi belajar adalah hasil belajar, bukan
keberhasilan proses. Sehingga perubahan-perubahan dari hasil pembelajaran tidak
terbaca oleh guru.
Upaya siswa untuk menerima otoritas guru, yang
dilembagakan dalam berbagai aturan yang dibuat dan hubungan siswa dengan guru,
bisa difahami sebagai bentuk interaksi siswa dengan guru dalam rangka mencari
ridla guru. Karena sikap siswa terhadap guru teradaptasi oleh daya tangkap
siswa terhadap kemauan guru. Pada tataran sikap siswa mengidentifikasikan diri
dalam kesantunankesantunan yang relatif sesuai dengan etika. Sehingga
bias difahami kehendak guru, dalam beberapa keadaan, merupakan apresiasi mereka.
Para
pelaku pendidikan dalam kasus ini tidak menyadari adanya problem dikotomi
antara pendidikan agama dan non-agama. Kesadaran mereka tentang Ta‘lim lebih
pada faktor moral. Padahal konsep al-Zarnuji muncul pada abad pertengahan atau
masa kemajuan Islam periode Abbasiyah, yaitu pada saat dimulai dikotomi agama
versus ilmu umum, yang menghasilkan pandangan bahwa segala sesuatu dilihat dari
dua sisi yang berlawanan, misalnya agama non-agama.
Pandangan
dikotomis tersebut pada gilirannya dikembangkan dalam melihat dan memandang
aspek kehidupan dunia dan akhirat, kehidupan jasmani dan rohani, sehingga
pendidikan Islam hanya diletakan pada aspek kehidupan akhirat saja atau
kehidupan rohani saja. Problem dikotomi tersebut rupanya bekerja melalui
setting yang lebih besar, yaitu mengakarnya paradigma zaman pertengahan ke dalam
pendidikan Islam. Paradigma zaman pertengahan ini, secara metodologis dikuatkan
oleh al-Jabiri, disebut nalar bayani.
Sementara
menurut pandangan Mahmud Arif, Ta‘lim merupakan salah
satu
alat untuk mengukuhkan dominasi nalar bayani. Ta‘lim memberi rambu-rambu agar
para pelajar mengikuti ahl alhaq, yaitu ahl al-sunnah wa al-jama‘ah, yang
diperlawankan dengan ahl al-dalalah, yaitu orang-orang yang memberanikan atau mengunggulkan
pendapat akalnya dan mencari kebenaran dari makhluk yang lemah yaitu akal.
Karena akal itu tidak dapat menemukan sesuatu secara keseluruhan.
Karenanya,
ia tertutup dari kebenaran yang sejati, justru ia lemah, sesat dan semakin
menyesatkan. Inilah salah satu bentuk pengukuhan Ta‘lim terhadap nalar bayani. Di
samping itu tasawuf begitu kuat mempengaruhi pola pikir al-Zarnuji di sepanjang
kitabnya. Sehingga ungkapan tariq, dalam judul kitabnya lebih menggambarkan
bahwa jalan yang harus ditempuh seorang pelajar ibaratnya sebuah tariqah yang
harus dijalani oleh seorang murid dalam bimbingan murshid.
Sehingga
banyak perilakuperilaku yang tidak terjelaskan dengan pola pikir bayani maupun burhani.
Tetapi justru di sinilah kekuatan moral dibangun, yaitu pada sisi bahwa
ketaatan murid dan penghormatan terhadap guru, serta sikap memuliakan ilmu,
tidak membutuhkan prosedur aqliyah maupun naqliyah, karena semua itu diabdikan
dalam kerangka tujuan mencari ridla Allah SWT.
Idealitas
moral yaitu tercapainya akhlaq al-karimah, dalam kasus penelitian ini menjadi
prioritas. Motivasi siswa untuk meraih “berkah” menjelaskan terhadap pengaruh
pola pikir tersebut. Istilah “berkah” dalam pemahaman siswa lebih dimaknai
sebagai suatu manfaat yang diperoleh bukan dari prosedur-prosedur yang bersifat
logis, tetapi lebih karena anugerah Tuhan yang bersifat intuitif. Misalnya
seorang menjadi alim bukan karena belajarnya, tetapi karena ketaatan dan penghormatannya
terhadap guru, sehingga Tuhan membukakan hatinya (futuh).
Sebenarnya
Ta‘lim telah menyeimbangkan antara pendekatan semacam ini dengan
prosedur-prosedur logis (ikhtiar) dalam belajar. Tetapi keutuhan konsep Ta‘lim,
menemui banyak kendala untuk bias direalisasikan dalam konteks pendidikan saat
ini. Pada saat upaya untuk merealisasikan konsep Ta‘lim, dilakukan dengan
sepotong-sepotong, dalam hal ini lebih menekankan aspek moralitasnya, maka menyisakan
problem semakin kuatnya dikotomi antara pelajaran agama dan non-agama.
C. Atmosfir Belajar dan Estetika Ta’lim
al-Muta’allim
Al-Zarnuji
dalam membahas hal-hal yang berkaitan dengan anak didik, lebih
mengaksentuasikan pada kepribadian atau sikap dan moral yang mulia, yang perlu
dimiliki oleh para pelajar. Kepribadian yang harus dimiliki oleh murid,
sebagimana dikatakan al-Zarnuji adalah setiap murid harus mempunyai
sifat-sifat; tawadu’, ‘iffah (sifat menunjukkan harga diri yang menyebabkan
seseorang terhindar dari perbuatan yang tidak patut), tabah, sabar, wara’
(menahan diri dari perbuatan yang terlarang) dan tawakal yaitu menyerahkan
segala perkara kepada Allah.17
Di
samping itu, al-Zarnuji juga menganjurkan agar dalam menuntut ilmu, murid
hendaknya mencintai ilmu, hormat kepada guru, keluarganya, sesama penuntut ilmu
lainnya, sayang kepada kitab dan menjaganya dengan baik, bersungguh-sungguh
dalam belajar dengan memanfaatkan waktu yang ada, ajeg dan ulet dalam menuntut
ilmu serta mempunyai cita-cita tinggi dalam mengejar ilmu pengetahuan.
Persyaratan-persyaratan
tersebut, bagi penulis merupakan persyaratan yang bersifat rohaniah. Ini tidak
berarti dia mengabaikan persyaratan yang bersifat jasmaniah, seperti kebutuhan
makan, minum, dan kesehatan. Namun, persyaratan jasmaniah adalah merupakan
persyaratan yang melekat dalam kehidupan manusia sehari-hari, sedangkan
persyaratan rohaniah tidak demikian.
Selain
guru dan murid, faktor penting lain dalam pendidikan adalah faktor kurikulum.
Kurikulum merupakan faktor yang sangat penting dalam proses kependidikan dalam
suatu lembaga pendidikan. Mata pelajaran yang harus diketahui dan dihayati oleh
anak didik harus ditetapkan dalam kurikulum. Materi pelajaran yang akan
disajikan kepada anak didik, harus dijabarkan terlebih dahulu dalam kurikulum.
Dengan demikian, dalam kurikulum tergambar dengan jelas dan berencana,
bagaimana dan apa saja yang harus terjadi dalam proses belajar-mengajar yang
dilakukan oleh pendidik dan anak didik.
Dalam
Ta’lim al-Muta’allim al-Zarnuji mengatakan bahwa proses belajar-mengajar
hendaknya dilaksanakan sesuai dengan perkembangan jiwa seseorang. Misalnya,
pada usia kanak-kanak, aktivitas menghapal dengan cara perulangan harus
diutamakan. Hal ini karena pola-pikir anak didik masih bersih, dan anak-anak
masih cenderung untuk meniru apa yang disampaikan oleh sang Guru. Pada usia
pendidikan menengah, anak didik mulai dikenalkan untuk memahami apa yang
diajarkan oleh guru.
Mata
pelajaran yang telah diajarkan bukan sekedar untuk dihapal, tetapi harus
dipahami makna-makna yang terkandung di dalamnya. Pada tahapan berikutnya, di
samping menghapal dan memahami, anak didik harus aktif dan merefleksikan, serta
kreatif untuk bertanya. Lebih lanjut al-Zarnuji mengatakan bahwa bertanya itu
lebih baik dari pada menghapal selama satu bulan. Para pelajar hendaknya
mencatat pelajaran-pelajaran yang telah diberikan oleh guru.27
Untuk
mencapai keberhasilan belajar, seorang murid seharusnya mempunyai kemauan yang
keras dan berusaha secara serius karena sebuah kemauan tanpa disertai adanya
usaha yang serius akan mengalami kegagalan, demikian sebaliknya.
Berkaitan
dengan metode pengajaran, al-Zarnuji mengemukakan pentingnya cara hapalan dan
pemahaman, karena kedua cara ini berkaitan dengan sifat individu. Di samping
itu, beliau juga mengembangkan cara belajar mudzakarah, munadzarah dan
mutharahah.
Ada
beberapa hal yang perlu digarisbawahi berkaitan dengan atmosfir akademik dan
nilai estetik relasi antara guru dan murid sebagaimana dituangkan dalam Ta’lim
al-Muta’allim, yakni pertama, titik tolak pemikiran pendidikan al-Zarnuji
bermula dari pembicaraan tentang substansi dan esensi kehidupan. Dia cenderung
menggunakan term-term tasawuf dalam pemikiran pendidikannya.
Oleh
karena itu, al-Zarnuji sangat menekankan pendidikan akhlak. Baginya, pendidikan
yang utama adalah berangkat dari hal-hal yang substansial, yakni masalah moral
(akhlak). Dengan kata lain, dari masalah yang substansi dan esensi ini akan
melahirkan perform yang sejati.
KESIMPULAN
Belajar
bernilai ibadah dan mengantarkan seseorang untuk memperoleh kebahagiaan duniawi
dan ukhrawi. Karenanya, belajar harus diniati untuk mencari ridha Allah,
kebahagiaan akhirat, mengembangkan dan melestarikan Islam, mensyukuri nikmat
akal, dan menghilangkan kebodohan.
Dalam konsep pendidikan yang di kemukakan oleh
al-Zarnuji, Untuk mencapai
keberhasilan belajar, seorang murid seharusnya mempunyai kemauan yang keras dan
berusaha secara serius karena sebuah kemauan tanpa disertai adanya usaha yang
serius akan mengalami kegagalan.
bisa dijelaskan dari persepsi guru terhadap hubungan
antara moral siswa dengan prestasi belajar. Siswa yang prestasi belajarnya baik
adalah siswa yang secara moral baik, tetapi tidak sebaliknya, artinya siswa
yang moralnya baik belum tentu prestasi belajarnya baik. Sedangkan siswa yang
secara moral dianggap kurang, senantiasa prestasi belajarnya tidak baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Mukhtar,
Affandi. 1995. “Ta’lim al-Muta`allim
Thariq al-Ta’allum”, dalam Lecture. Cirebon: LKPPI.
Ahmad, Muhammad Abdul Qadir. 1986. Ta’lim al-Muta’allim Thariq
al-Ta’allum. Mesir: Kairo University.
Abuddin Nata, 2003. Pemikiran
Para Tokoh Pendidikan Islam (Jakarta : Rajagrafindo Persada
Az-Zarnuji, Ta`lim al-Muta`allim, Ter.
Aliy As`ad (Kudus: Manara Kudus, 1978
http://etd.eprints.ums.ac.id/8942/
Huda, M., & Kartanegara, M. (2015). Islamic Spiritual Character Values of al-Zarnūjī’s Taʻlīm al-Mutaʻallim. Mediterranean Journal of Social Sciences, 6(4), 229.
ReplyDelete