Pages

Friday, 5 December 2014

Konsep moral imam Al-zarnuji



Konsep Pendidikan Moral
 Al –Zarnuji

Di susun oleh:
Kelompok 16

NAMA
NPM




Jurusan/semester/kelas

Dosen









FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG 2012
PENDAHULUAN

 Syekh Burhanudin al-Zarnuji, dengan nilai moralitasnya yang dibawa proses pembelajaran, yang tertuang dalam karyanya Ta’limul Muta’alim Thariqatta’ Alum. Hal ini menjadi penting, apabila dikaitkan dengan fenomena pendidikan yang sampai saat ini belum cukup mampu untuk menghasilkan insan yang berkepribadian luhur. Mayoritas pendidikan yang berkembang sekarang lebih menekankan kepada segi kognitif dan mempelajari ilmu-ilmu umum, sehingga pelajar mempelajari ilmu yang berserakan dan tidak sistematis.
Selain itu masalah etika kurang diperhatikan, baik etika terhadap guru, etika terhadap sesama murid. Maka jangan heran ketika al-Zarnuji mengatakan banyak dari sebagian pelajar yang sebenarnya mereka sudah bersungguh-sungguh menuntut ilmu, namun mereka tidak merasakan nikmatnya ilmu, hal ini disebabkan mereka meninggalkan atau kurang memperhatikan etika dalam menuntut ilmu.
Al-Zarnuji tentang etika belajar siswa. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami pemikiran al-Zarnuji tentang etika belajar siswa. Manfaat dari penelitian ini adalah secara teoritis, dapat semakin memperkaya khazanah pemikiran Islam pada umumnya dan bagi Civitas Akademika Fakultas Agama Islam pada khususnya.







PEMBAHASAN

A.  Konsep Pendidikan Moral

Kitab Ta‘lim lebih tepatnya merupakan konsep belajar, sehingga untuk menjelaskan dalam perspektif pembelajaran harus ditarik dari pemahaman bagaimana proses dan cara yang ditempuh guru untuk menjadikan seseorang siswa mencapai suatu kondisi mengetahui dengan jelas, segala sesuatu yang dibutuhkan dalam rangka pembentukan insan kamil. Setidaknya ada dua metode yang dikemukan oleh al-Zarnuji, yaitu pertama metode yang bersifat etik, dan kedua metode bersifat strategi.
 Metode yang sifatnya etik antara lain mencakup niat dalam belajar, sikap batin, perilaku pelajar, menghormati ilmu, dan menghormati guru. Etika atau moralitas Ta‘lim berpangkal dari penghargaan terhadap ilmu. Penghargaan terhadap ilmu memperoleh legitimasinya karena merupakan sarana untuk mencapai ridla Allah SWT. Dengan dasar pemikiran seperti ini, pada dasarnya kolaborasi dari berbagai teori pendidikan Barat dengan teori pendidikan Islam, adalah upaya yang baik selama tidak menyangkal tujuan untuk mencari ridla Allah SWT.
 Sedangkan metode yang sifatnya strategi mencakup cara memilih pelajaran, memilih guru, memilih teman, langkah-langkah dalam belajar, dan lain-lain. Terkait dengan penggunaan istilah pembelajaran, pada dasarnya Ta‘lim mengembangkan metode yang menggambarkan proses kontruksi siswa terhadap pengetahuannya sendiri, seperti metode
1.      munazarah ( المناظرة ), (debat)
2.      mudzakarah (المذاكرة) (menghafal)
3.      mushawarah ( المشاورة ),(musyawarah)
Secara umum pandangan guru terhadap Ta‘lim lebih pada sisi moral belajar anak, sehingga mereka sepakat menjadikan Ta‘lim sebagai suplemen bagi penguatan moralitas belajar siswa. Selebihnya apresiasi para pelaku pendidikan, terdaaptasi oleh nilai-nilai moral belajar
yang hidup dari pengaruh dunia pesantren dan pengaruh guru yang memiliki latar belakang pendidikan pesantren.

B.  Hal-hal yang dianggap tidak relevan dalam pendidikan moral

Moralitas yang dibangun meskipun bekerja secara atomik sedikit banyak menjelaskan korelasi antara moralitas dengan keberhasilan proses pembelajaran. Hal ini bisa dijelaskan dari persepsi guru terhadap hubungan antara moral siswa dengan prestasi belajar. Siswa yang prestasi belajarnya baik adalah siswa yang secara moral baik, tetapi tidak sebaliknya, artinya siswa yang moralnya baik belum tentu prestasi belajarnya baik. Sedangkan siswa yang secara moral dianggap kurang, senantiasa prestasi belajarnya tidak baik.
Kesimpulan guru tersebut memiliki kekurangan dari segi bahwa yang menjadi tolak ukur prestasi belajar adalah hasil belajar, bukan keberhasilan proses. Sehingga perubahan-perubahan dari hasil pembelajaran tidak terbaca oleh guru.
Upaya siswa untuk menerima otoritas guru, yang dilembagakan dalam berbagai aturan yang dibuat dan hubungan siswa dengan guru, bisa difahami sebagai bentuk interaksi siswa dengan guru dalam rangka mencari ridla guru. Karena sikap siswa terhadap guru teradaptasi oleh daya tangkap siswa terhadap kemauan guru. Pada tataran sikap siswa mengidentifikasikan diri dalam kesantunankesantunan yang relatif sesuai dengan etika. Sehingga bias difahami kehendak guru, dalam beberapa keadaan, merupakan apresiasi mereka.
Para pelaku pendidikan dalam kasus ini tidak menyadari adanya problem dikotomi antara pendidikan agama dan non-agama. Kesadaran mereka tentang Ta‘lim lebih pada faktor moral. Padahal konsep al-Zarnuji muncul pada abad pertengahan atau masa kemajuan Islam periode Abbasiyah, yaitu pada saat dimulai dikotomi agama versus ilmu umum, yang menghasilkan pandangan bahwa segala sesuatu dilihat dari dua sisi yang berlawanan, misalnya agama non-agama.
Pandangan dikotomis tersebut pada gilirannya dikembangkan dalam melihat dan memandang aspek kehidupan dunia dan akhirat, kehidupan jasmani dan rohani, sehingga pendidikan Islam hanya diletakan pada aspek kehidupan akhirat saja atau kehidupan rohani saja. Problem dikotomi tersebut rupanya bekerja melalui setting yang lebih besar, yaitu mengakarnya paradigma zaman pertengahan ke dalam pendidikan Islam. Paradigma zaman pertengahan ini, secara metodologis dikuatkan oleh al-Jabiri, disebut nalar bayani.
Sementara menurut pandangan Mahmud Arif, Ta‘lim merupakan salah
satu alat untuk mengukuhkan dominasi nalar bayani. Ta‘lim memberi rambu-rambu agar para pelajar mengikuti ahl alhaq, yaitu ahl al-sunnah wa al-jama‘ah, yang diperlawankan dengan ahl al-dalalah, yaitu orang-orang yang memberanikan atau mengunggulkan pendapat akalnya dan mencari kebenaran dari makhluk yang lemah yaitu akal. Karena akal itu tidak dapat menemukan sesuatu secara keseluruhan.
Karenanya, ia tertutup dari kebenaran yang sejati, justru ia lemah, sesat dan semakin menyesatkan. Inilah salah satu bentuk pengukuhan Ta‘lim terhadap nalar bayani. Di samping itu tasawuf begitu kuat mempengaruhi pola pikir al-Zarnuji di sepanjang kitabnya. Sehingga ungkapan tariq, dalam judul kitabnya lebih menggambarkan bahwa jalan yang harus ditempuh seorang pelajar ibaratnya sebuah tariqah yang harus dijalani oleh seorang murid dalam bimbingan murshid.
Sehingga banyak perilakuperilaku yang tidak terjelaskan dengan pola pikir bayani maupun burhani. Tetapi justru di sinilah kekuatan moral dibangun, yaitu pada sisi bahwa ketaatan murid dan penghormatan terhadap guru, serta sikap memuliakan ilmu, tidak membutuhkan prosedur aqliyah maupun naqliyah, karena semua itu diabdikan dalam kerangka tujuan mencari ridla Allah SWT.
Idealitas moral yaitu tercapainya akhlaq al-karimah, dalam kasus penelitian ini menjadi prioritas. Motivasi siswa untuk meraih “berkah” menjelaskan terhadap pengaruh pola pikir tersebut. Istilah “berkah” dalam pemahaman siswa lebih dimaknai sebagai suatu manfaat yang diperoleh bukan dari prosedur-prosedur yang bersifat logis, tetapi lebih karena anugerah Tuhan yang bersifat intuitif. Misalnya seorang menjadi alim bukan karena belajarnya, tetapi karena ketaatan dan penghormatannya terhadap guru, sehingga Tuhan membukakan hatinya (futuh).
Sebenarnya Ta‘lim telah menyeimbangkan antara pendekatan semacam ini dengan prosedur-prosedur logis (ikhtiar) dalam belajar. Tetapi keutuhan konsep Ta‘lim, menemui banyak kendala untuk bias direalisasikan dalam konteks pendidikan saat ini. Pada saat upaya untuk merealisasikan konsep Ta‘lim, dilakukan dengan sepotong-sepotong, dalam hal ini lebih menekankan aspek moralitasnya, maka menyisakan problem semakin kuatnya dikotomi antara pelajaran agama dan non-agama.

C.   Atmosfir Belajar dan Estetika Ta’lim al-Muta’allim
Al-Zarnuji dalam membahas hal-hal yang berkaitan dengan anak didik, lebih mengaksentuasikan pada kepribadian atau sikap dan moral yang mulia, yang perlu dimiliki oleh para pelajar. Kepribadian yang harus dimiliki oleh murid, sebagimana dikatakan al-Zarnuji adalah setiap murid harus mempunyai sifat-sifat; tawadu’, ‘iffah (sifat menunjukkan harga diri yang menyebabkan seseorang terhindar dari perbuatan yang tidak patut), tabah, sabar, wara’ (menahan diri dari perbuatan yang terlarang) dan tawakal yaitu menyerahkan segala perkara kepada Allah.17
Di samping itu, al-Zarnuji juga menganjurkan agar dalam menuntut ilmu, murid hendaknya mencintai ilmu, hormat kepada guru, keluarganya, sesama penuntut ilmu lainnya, sayang kepada kitab dan menjaganya dengan baik, bersungguh-sungguh dalam belajar dengan memanfaatkan waktu yang ada, ajeg dan ulet dalam menuntut ilmu serta mempunyai cita-cita tinggi dalam mengejar ilmu pengetahuan.
Persyaratan-persyaratan tersebut, bagi penulis merupakan persyaratan yang bersifat rohaniah. Ini tidak berarti dia mengabaikan persyaratan yang bersifat jasmaniah, seperti kebutuhan makan, minum, dan kesehatan. Namun, persyaratan jasmaniah adalah merupakan persyaratan yang melekat dalam kehidupan manusia sehari-hari, sedangkan persyaratan rohaniah tidak demikian.
Selain guru dan murid, faktor penting lain dalam pendidikan adalah faktor kurikulum. Kurikulum merupakan faktor yang sangat penting dalam proses kependidikan dalam suatu lembaga pendidikan. Mata pelajaran yang harus diketahui dan dihayati oleh anak didik harus ditetapkan dalam kurikulum. Materi pelajaran yang akan disajikan kepada anak didik, harus dijabarkan terlebih dahulu dalam kurikulum. Dengan demikian, dalam kurikulum tergambar dengan jelas dan berencana, bagaimana dan apa saja yang harus terjadi dalam proses belajar-mengajar yang dilakukan oleh pendidik dan anak didik.
Dalam Ta’lim al-Muta’allim al-Zarnuji mengatakan bahwa proses belajar-mengajar hendaknya dilaksanakan sesuai dengan perkembangan jiwa seseorang. Misalnya, pada usia kanak-kanak, aktivitas menghapal dengan cara perulangan harus diutamakan. Hal ini karena pola-pikir anak didik masih bersih, dan anak-anak masih cenderung untuk meniru apa yang disampaikan oleh sang Guru. Pada usia pendidikan menengah, anak didik mulai dikenalkan untuk memahami apa yang diajarkan oleh guru.
Mata pelajaran yang telah diajarkan bukan sekedar untuk dihapal, tetapi harus dipahami makna-makna yang terkandung di dalamnya. Pada tahapan berikutnya, di samping menghapal dan memahami, anak didik harus aktif dan merefleksikan, serta kreatif untuk bertanya. Lebih lanjut al-Zarnuji mengatakan bahwa bertanya itu lebih baik dari pada menghapal selama satu bulan. Para pelajar hendaknya mencatat pelajaran-pelajaran yang telah diberikan oleh guru.27
Untuk mencapai keberhasilan belajar, seorang murid seharusnya mempunyai kemauan yang keras dan berusaha secara serius karena sebuah kemauan tanpa disertai adanya usaha yang serius akan mengalami kegagalan, demikian sebaliknya.
Berkaitan dengan metode pengajaran, al-Zarnuji mengemukakan pentingnya cara hapalan dan pemahaman, karena kedua cara ini berkaitan dengan sifat individu. Di samping itu, beliau juga mengembangkan cara belajar mudzakarah, munadzarah dan mutharahah.
Ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi berkaitan dengan atmosfir akademik dan nilai estetik relasi antara guru dan murid sebagaimana dituangkan dalam Ta’lim al-Muta’allim, yakni pertama, titik tolak pemikiran pendidikan al-Zarnuji bermula dari pembicaraan tentang substansi dan esensi kehidupan. Dia cenderung menggunakan term-term tasawuf dalam pemikiran  pendidikannya.
Oleh karena itu, al-Zarnuji sangat menekankan pendidikan akhlak. Baginya, pendidikan yang utama adalah berangkat dari hal-hal yang substansial, yakni masalah moral (akhlak). Dengan kata lain, dari masalah yang substansi dan esensi ini akan melahirkan perform yang sejati.










KESIMPULAN
Belajar bernilai ibadah dan mengantarkan seseorang untuk memperoleh kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Karenanya, belajar harus diniati untuk mencari ridha Allah, kebahagiaan akhirat, mengembangkan dan melestarikan Islam, mensyukuri nikmat akal, dan menghilangkan kebodohan.
Dalam konsep pendidikan yang di kemukakan oleh al-Zarnuji, Untuk mencapai keberhasilan belajar, seorang murid seharusnya mempunyai kemauan yang keras dan berusaha secara serius karena sebuah kemauan tanpa disertai adanya usaha yang serius akan mengalami kegagalan.
bisa dijelaskan dari persepsi guru terhadap hubungan antara moral siswa dengan prestasi belajar. Siswa yang prestasi belajarnya baik adalah siswa yang secara moral baik, tetapi tidak sebaliknya, artinya siswa yang moralnya baik belum tentu prestasi belajarnya baik. Sedangkan siswa yang secara moral dianggap kurang, senantiasa prestasi belajarnya tidak baik.


DAFTAR PUSTAKA

Mukhtar, Affandi. 1995. “Ta’lim al-Muta`allim Thariq al-Ta’allum”, dalam Lecture. Cirebon: LKPPI.

Ahmad, Muhammad Abdul Qadir. 1986. Ta’lim al-Muta’allim Thariq al-Ta’allum. Mesir: Kairo University.

Abuddin Nata, 2003. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam (Jakarta : Rajagrafindo Persada

Az-Zarnuji, Ta`lim al-Muta`allim, Ter. Aliy As`ad (Kudus: Manara Kudus, 1978

http://etd.eprints.ums.ac.id/8942/

1 comment:

  1. Huda, M., & Kartanegara, M. (2015). Islamic Spiritual Character Values of al-Zarnūjī’s Taʻlīm al-Mutaʻallim. Mediterranean Journal of Social Sciences, 6(4), 229.

    ReplyDelete